Minggu, 19 Februari 2012

Iqra


Iqra

Iqra atau bacalah, merupakan ayat yang diturunkan oleh Allah SWT sebelum perintah sholat. Atas dasar itulah kemudian Muhamad SAW menjadi manusia yang pertamakali disuruh membaca dan membaca. Sehingga Rosul Allah ini menjadi manusia yang sadar terhadap objek baca. Salah satu objek baca adalah alam (lingkungan) tempat manusia tinggal, tempat manusia hidup menjalankan hajatnya, dan tempat manusia berinteraksi sosial.

Jika Allah SWT memerintahkan Muhamad SAW untuk membaca, maka Muhamad mengaplikasikan ayat “baca” ini dalam ucapan dan tindakan. Dan membaca lebih banyak memberikan arti yang bebas tetapi berpegang teguh pada prinsip-prinsip iman, kemanusian, kecintaan, dan kasih sayang terhadap sesama makhluk.

Pengertian “bebas” adalah menafsirkan secara acak mengenai konsep baca (membaca) sehingga membaca memiliki makna luas dan baca menjadi tafsir-tafsir progresif. Makna luas yang dimaksud ialah menerjemahkan kata demi kata dengan aturan kata yang memiliki struktur. Jika sudah memiliki aturan struktur maka kata menjadi kalimat-kalimat yang lempung sepertri tanah liat. Dari sini timbullah kalimat yang memiliki citra estetik (keindahan) yang mampu menggugah perasaan manusia.

Sementara progresif memiliki makna maju. Membaca adalah merupakan awal kemajuan yaitu kemajuan wawasan, pengetahuan dalam memahami hakikat hidup. Membaca secara progresif adalah membaca yang menyerahkan seluruh tubuh untuk berpikir, untuk merenung, bertafakur, bertadabur sehingga membaca memiliki makna luas.

Lalu kapan saat tepat untuk membaca? Saat ini. Sekarang juga.

“Allah SAW tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri.” Dalam kerangka inilah maka membaca merupakan salah satu bagian dari usaha-usaha untuk merubah nasib seseorang menjadi lebih baik. Yang menjadi masalah adalah kecenderungan manusia yang malas membaca dan malas berpikir. Hal ini bukan hanya dikalangan siswa tetapi hampir semua kalangan termasuk mungkin saja “Guru.”

Paradigma (cara pandang) di atas perlu diperbaharui pada semua kalangan termasuk guru. Sehingga menyusun kata dan kalimat-kalimat tidak lagi terlalu verbal kemudian menorehkan salah tafsir. Kebodohan dapat dilihat dari uraian kata-kata yang tidak memiliki makna luas, tidak argumentatif, dan berkonotatif. Sehingga kata (kalimat) menjadi bagian dari sarkasme karena kehilangan kata untuk menyampaikannya.

Dari apa yang disampaikan di atas sering menjadi data bagi beberapa peristiwa. Kecenderungan orang marah karena kata telah membuat jarak yang terlalu jauh dengan pikiran si pembicara. Kata menjadi sulit dikatakan jika tidak diikuti keseimbangan pikiran dan perasaan. Kata terlalu jauh untuk di jangkau lewat lambang. Kalau begitu segeralah membaca. Ayo! Membaca. Jika tidak jadi lah orang gagap.                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar