Minggu, 19 Februari 2012

Perempuan Berkalung Sorban dan Hak-hak Perempuan


“Perempuan Berkalung Sorban dan Hak-hak Perempuan”


 Perempuan Berkalung Sorban” (selanjutnya PBS) yang digaraf secara apik oleh Hanung Bramantyo dan diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqy merupakan film yang menyuguhkan persoalan etika perempuan dalam memahami agama islam. Memahami konsep keagamaan yang selama ini mengikat perempuan dalam berbagai bentuk, ikatan itu sering melahirkan   pemberontakan akibat tekanan, ketidaksepahaman dan cara pandang.

Film PBS merupakan adavtasi dari sebuah novel karya seorang perempuan, tentu ikatan-ikatan emosionalnya menggunakakan pendekatan emosional seorang perempuan. Walaupun sebetulnya subtansinya atau gagasan film itu dapat diterima semua kalangan.

Yang menarik dari film PBS adalah gagasan atau temanya yang menekankan pada usaha-usaha pemberontakan dan perjuangan seorang perempuan melawan aturan-aturan masyarakat tradisional yaitu Anissa yang diperankan oleh Revalina S. Temat putri Kiai Hanan pemimpin pondok pesantren Nurul Huda. Aturan-aturan tradisional itu sangat mengikat dan  melulu bersumber dari Al-Quran dan Hadist padahal Quran dan Hadist hanya dijadikan apologi untuk meyakinkan orang lain dalam memaksakan kehendak.

Perjuangan Anissa sebagai tokoh protagonis meyakini bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan memliki hak untuk menentukan jalan hidupnya. Anissa seperti kaum feminis dari sekelompok santriwati yang kecil kemungkinannya untuk bisa eksis. Ia harus berjuang keras untuk meyakinkan keluarganya pada pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Anissa berusaha keras bahwa berkuda juga bukanlah olah raga yang hanya dominasi kaum laki-laki.

Aturan tradisi sering disamaratan dengan aturan Quran dan Hadis. Padahal tradisi adalah adat-istiadat sebuah masyarakat berupa budaya yang bersumber dari aturan-aturan masa lampau yang diturunkan pada generasi berikutnya. Terkadang aturan tradisi bertolak belakang dengan Quran dan Hadis tetapi dapat mengikat suatu masyarakat tertentu.

Bagi Anissa tradisi yang telah melembaga merupakan perangkap bagi kaum perempuan. Serba tidak boleh justru lahir dari lembaga ini. Maka tidak heran jika Anissa kemudian menjadi penentang segala bentuk diskriminasi seperti juga pelarangan naik kuda bagi kaum perempuan. Naik kuda sepertinya naïf untuk diangkat sebagai persoalan diskriminasi tetapi kuda memiliki simbol kebebasan, simbol untuk lari sekencang mungkin dari aturan-aturan yang membatasi ruang gerak kaum perempuan.

Perbedaan pemahaman antara Anissa dan keluarga tidak terlepas dari cara pandang Anissa yang telah memahami Quran dan Hadist bukan hanya sebagai ayat-ayat pelarangan tetapi juga sebagai ilmu. Quran dan Hadist perlu penafsiran yang relevan dan kontekstual juga sebagai alat untuk pencapaian  keterikatan sosial dan humanisasi dalam masyarakat.

Persoalan Anissa yang memperjuangkan hak-hak persamaan, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk kebebasan tetap berpegang teguh pada Quran dan Hadist. Anissa merupakan santri dari pesantren generasi santriwati Nurul Huda yang terbiasa menerima aturan keagamaan, pendidikan madrasah, dengan pola pesantren. Namun, saat-saat ia menerima peminggiran, diskriminasi dan kekasaran Anissa berontak. Karena hal itu tidak sejalan dengan apa yang ia terima setiap saat yaitu ajaran Quran yang penuh rahmat. Peminggiran dan diskriminasi tidak perlu terjadi pada kaum perempuan dari laki-laki ketika laki-laki menjadi mahluk menyeramkan dengan taring-taring ambisi dan kekuasaannya. Laki-laki menjadi lebih superman dibanding superman tokoh gagah berani dari Eropa. Kegagahannya bukan lagi memamerkan otot tetapi dominasi biologis dan psikologis.

Di awali dari keputusan keluarganya saat Annisa mencoba memberikan semacam solusi, memberikan arah bagi terciptanya saling pengertian dalam hak perempuan dan laki-laki, saat itu pula konflik mulai terbuka. Dan aturan-aturan tradisi yang di satu kelompokkan dengan agama menjadi tak terpisahkan. Seolah aturan tradisi adalah agama dan agama adalah tradisi.

Walaupun akhirnya Anissa mampu keluar dari persoalan itu, tetapi bukan berarti peminggiran dan diskriminasi telah selesai. Di luar film PBS, hak-hak perempuan telah terilimenasi, dimarginalkan sehingga perempuan menjadi masyarakat kelas dua. TKW dan berbagai kasus tindak kekerasan terhadap kaum perempuan menjadi bukti ada peminggiran sistematik yang membiarkan perempuan menjadi devisa Negara. Bukan hanya itu kasus-kasus penjualan perempuan (trafficking), pembunuhan mutilasi, dan pemerkosaan yang seluruhnya melibatkan kaum perempuan memperlihatkan lemahnya kaum perempuan. Posisi gender telah meminggirkan kaum perempuan dalam segala bidang.

Saat ini, perempuan walaupun telah ada upaya untuk memposisikan dirinya dalam legislatif tetapi tetap belum sepenuhnya bebas. 30% hanya tempat yang diduduki kaum perempuan di legislatif tetapi bagaimana posisi perempuan yang mayoritas di Negara ini.

Anissa dalam film PBS adalah salah satu upaya untuk menyadarkan kaum laki-laki tradisional dan kaum perempuan. Upaya untuk mengingatkan tentang kesetaraan gender yang tidak menghilangkan kultur Islam, aturan agama, dan tetap menghormati perbedaan. Film PBS berhasil, paling tidak  memberi ruang pemahaman mengenai hak-hak perempuan. Anissa menjadi tokoh yang berani mensejajarkan pandangannya dengan kaum laki-laki yang mampu keluar dari kegelapan atau Habis Gelap Terbitlah Terang (meminjam istilah Edi D. Iskandar) Seperti apa yang dikatakannya pula (“PR”,Rabu,11/2/2008) “Muslimah yang mampu bangkit dari guncangan psikologis akibat kegetiran yang bertubi-tubi”. Kegetiran kaum perempuan Indonesia.

 

Siti N, Nurjanah

Peminat film dan  siswi Aliyah

Al- Ikhlas  Cicalengka kelas XI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar