Minggu, 19 Februari 2012
Macet
Macet
Alangkah besar pengaruh yang
ditimbulkan oleh kemacetan. Selain kerugian waktu tentu saja berbagai kerugian
yang berdampak langsung pada fisik maupun psikis. Kota-kota besar seperti
Jakarta, Bandung, dan Surabaya merupakan kota-kota yang memiliki tingkat
kemacetan terutama pada jalan-jalan protokol yang setiap hari digunakan oleh
berbagai jenis kendaraan. Saat pergi dan pulang kerja merupakan saat-saat yang
paling rawan sehingga pemerintah DKI Jakarta mengubah jam sekolah lebih awal.
Di Bandung daerah Cicaheum, Jalan
Jakarta, Kiara Condong, Jalan Mohamad Toha sebagian jalan yang selalu macet.
Inilah potret buram kota-kota di Indonesia sebuah Negara yang memiliki tanah
yang sangat luas dan kekayaan yang melimpah.
Dengan kemacetan, masyarakat
selain dirugikan tentu menimbulkan volusi. Udara di sekitar kemacetan begitu
banyak menghasilkan CO2 sehingga oksigen yang sem,estinya dihiruf tidak lagi
bersih. Penyakit yang ditimbulkan berakibat fatal antara lain ispa, migren, dan
paru. Tetapi ada penyakit yang lebih parah lagi yaitu “STRES”.
Stres merupakan penyakit yang
ditimbulkan oleh ketertekanan psikolgis dan salah satunya adalah kemacetan.
Kemacetan bukan hanya harus mengantri berjam-jam, berhenti berjam-jam,
membunyikan klakson, menghamburkan bahan baker bensin tetapi membuat orang
marah, sehingga dalam beberapa menit saja orang bisa cepat marah.
Dengan seringnya macet di
jalan-jalan kota besar, bahkan di daerah sebesar kota Cicalengka dan Rancaekek
masyarakat kita dihadapkan pada pilihan yang sulit yaitu “jalan terus sambil
marah-marah atau jalan terus sambil bersabar.” Sebuah keputusan yang harus
segera diambil, jika tidak, anda pasti kecewa.
Macet kendaraan suatu hal yang
biasa ketika kita melewati jalan-jalan langganan macet. Secara fisik dan
psikologis dampaknya lumayan berat. Tetapi, ada yang lebih buruk
dari kemacetan kendaraan yaitu kemacetan “berpikir.”
Kemacetan “berpikir” bisa lebih
berbahaya. Akibat yang ditimbulkan adalah matinya kreativitas, tidak adanya
kemauan, dan kurangnya inovasi. Jika sudah terjadi maka tunggulah kematian
komunikasi.
Kemacetan “berpikir” akan lebih parah
jika seseorang tidak lagi melihat dan mendengarkan lingkungan di sekitarnya.
Tanda-tanda itu dimulai dari apriori terhadap segala yang berbentuk nasihat,
kemajuan, dan biasanya individualis. Hal ini pula yang menurut teori sosial
disebut “narsisme” yaitu jika kepentingan ego lebih besar dari kepentingan
kelompok. “Narsisme” adalah istilah bagi orang-orang yang hatinya tidak
memerlukan pertolongan orang lain atau bersikap individualistik. Terhadap sikap
ini ada beberapa penelitian yang mengemukakan bahwa sikap narsisis akan
terlihat jika ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Sebuah contoh.” Ketika
sekelompok siswa melakukan kegiatan kerja piket lalu apa yang dilakukan oleh
siswa lain? Apakah melakukan kegiatan yang sama atau berdiam diri sambil mencemooh?”
hal semacam ini akan terlihat jelas.
Selain “narsisme” tentu ada
berbagai hal yang ditimbulkan oleh kemacetan berpikir. Dalam beberapa kasus
seperti dalam diskusi, kemacetan berpikir sering memperlihatkan
ketidakjelasan “orientasi”, yaitu kehilangan arah dan tujuan pembicaraan.
Biasanya yang dibicarakan atau dikatakan tidak sejalan dengan pandangan semula
yang mengemuka.
Kemacetan berpikir juga sering
timbul pada seseorang yang jika terdesak dalam pembicaraan lebih condong
“mengkambing hitamkan” seseorang dan menyelamatkan diri sendiri. Hal ini,
kemudian akan berpengaruh pada relasi sosial, kekerabatan, dan kekeluargaan.
Sikap di atas bisa jadi merupakan
lambatnya cara pandang seseorang atau lemahnya hubungan sosial. Atau mungkin
perubahan sosial di masyarakat telah mempengaruhi psikisnya sehingga tidak siap
menerima perubahan sosial dalam batas-batas kesadarannya.
Dengan demikian, alangkah
bijaknya jika “kemacetan berpikir” segera dihentikan dengan berbagai cara
antara lain sabar, tidak antisosial, altruistik, tidak egosentris, dan
narsisme. Saya yakin dengan apa yang dikemukakan di atas “kemacetan berpikir”
tidak akan terjadi.
“Asal omong tidak akan terjadi jika tidak ada Kemacetan berpikir”.
Jangan macet berpikir! O.K!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar